Sejarah yang panjang ini telah membuat warga Dabo Singkep sudah sehati dengan timah. Biji timah telah membuat masyarakat Dabo Singkep hidup dengan penuh kemewahan. Kota Dabo Singkep menjadi salah satu kota paling maju di Riau (saat masih bergabung dengan provinsi Riau), bahkan lebih maju dari Tanjung Pinang (ibukota kabupaten pada saat itu). Belum lagi kehidupan warga yang dapat menikmati langsung rezeki yang melimpah seperti apa yang dirasakan oleh karyawan UPTS pada saat itu.
Tahun 1985, merupakan tahun awal dari kemerosotan PT. Timah Singkep. Pada saat itu, terjadilah apa yang disebut dengan tin crash atau malapetaka timah, yang ditandai dengan ambruknya harga timah di pasaran dunia. Harga timah anjlok dari 16.000 Dolar AS menjadi 8.000 Dolar AS per metrik ton.
Dampak dari kemerosotan harga pasar dunia itu, membuat usaha penambangan timah khususnya di Singkep menjadi menurun. Eksplorasi berkurang, laba menurun, dan dampakpun mulai terasa atas warga masyarakat dan karyawan yang bekerja pada saat itu. Salah satu dampak yang paling berat dirasakan oleh warga Dabo Singkep pada saat itu adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan kepada karyawan-karyawan Perusahaan. Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan Perusahaan secara berangsur-angsur. Lebih kurang sekitar 2.400 karyawan diberhentikan dan diberi “uang tolak” atau “pesangon”. Sementara bagi yang tidak di PHK, pindah ke lokasi tambang lain seperti yang ada di Pulau Bangka, Tanjung Batu dan Tanjung Balai Karimun. Seiring itu pulalah, penambangan timah di Pulau Singkep dipindahkan aktivitasnya ke Pulau Karimun dan Kundur.
Pada tahun 1990, penduduk Dabo Singkep masih tercatat 39.000 jiwa. Dan lima tahun kemudian, penduduk Dabo Singkep hanya tinggal 21.000 jiwa saja. Meskipun sekarang sudah naik kembali, namun statistik ditahun 1997 baru sekitar 35.000 jiwa. Tapi sekarang sudah meningkat tajam seiring dengan terbentuknya Kabupaten Lingga yang berada di provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Discussion about this post